Minggu, 30 September 2012
Jumat, 21 September 2012
Morbus Hansen atau Lepra
DASAR TEORI
1.1 ` Definisi kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukannyayaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.1
Kusta merupakan infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyakit ini adalah tipe granuloma dengan progresip lambat pada kulit dan saraf. Penyakit ini dapat merusak kulit, saraf perifer, mukosa traktus respiratorius bagian atas, dan juga mata, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf.2,3
1.2 Epidemiologi
Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Penyebaran kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.1
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:4
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya. 4
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan M. leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :1,4
- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
1.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbetuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alcohol serta Gram positif. Di luar tubuh dapat hidup selama 2-9 hari. Masa pembelahan atau generation timerata-rata 20 hari.1,5
1.4 Patogenesis
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. BilaMycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel TH1, sel pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya melalui interfeuron γ (IFN-γ). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-β meyebabkan reaksi peradangan yang hebat.6,7
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru, sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan ijdikan tempt berkembang iak dan disebut sel Virchow atausel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.1
1.5 Bentuk-bentuk dan Gejala Klinis
Adapun Gejala Klinisnya:8
§ Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.
§ Penebalan syaraf tepi.
§ Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.
§ Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut.
3 tanda utama (Cardinal Sign):9
· Kelainan pada kulit pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa
· Penebalan saraf tepi dengan gangguan sensasi di area lesi
· Pada pemeriksaan apusan kulit (skin smear) ditemukan adanya Basil Tahan Asam (BTA)
Klasifikasi Penyakit Kusta
1) Jenis klasifikasi yang umum1
a. Klasifikasi Internasional (1953)
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
1. Tuberkoloid (TT)
2. Borderline tubercoloid (BT)
3. Mid-Borderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteriaRidley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Joplingatau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB)1
Sifat
|
Lepromatosa (LL)
|
Borderline Lepromatosa (BL)
|
Mid Borderline (BB)
|
Lesi
| |||
· Bentuk
|
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
|
Makula
Plakat
Papul
|
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
|
· Jumlah
|
Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat
|
Sukar dihitung, masih ada kulit sehat
|
Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada
|
· Distribusi
|
Simetris
|
Hampir simetris
|
Asimetris
|
· Permukaan
|
Halus berkilat
|
Halus berkilat
|
Agak kasar, agak berkilat
|
· Batas
|
Tidak jelas
|
Agak jelas
|
Agak jelas
|
· Anestesia
|
Biasanya tidak jelas
|
Tak jelas
|
Lebih jelas
|
BTA
| |||
· Lesi kulit
|
Banyak (ada globus)
|
Banyak
|
Agak banyak
|
· Sekret hidung
|
Banyak (ada globus)
|
Biasanya negatif
|
Negatif
|
Tes Lepromin
|
Negatif
|
Negatif
|
Negatif
|
Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
Karakteristik
|
Tuberkuloid (TT)
|
Borderline Tuberculoid (BT)
|
Indeterminate (I)
|
Lesi
| |||
· Tipe
|
Makula ; makula dibatasi infiltrat
|
Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja
|
Hanya Infiltrat
|
· Jumlah
|
Satu atau dapat beberapa
|
Beberapa atau satu dengan lesi satelit
|
Satu atau beberapa
|
· Distribusi
|
Terlokalisasi & asimetris
|
Asimetris
|
Bervariasi
|
· Permukaan
|
Kering, skuama
|
Kering, skuama
|
Dapat halus agak berkilat
|
· Batas
|
Jelas
|
Jelas
|
Dapat jelas atau dapat tidak jelas
|
· Anestesia
|
Jelas
|
Jelas
|
Tak ada sampai tidak jelas
|
BTA
| |||
· lesi kulit
|
Hampir selalu negatif
|
Negatif atau hanya 1+
|
Biasanya negatif
|
Tes lepromin
|
Positif kuat (3+)
|
Positif lemah
|
Dapat positif lemah atau negatif
|
Tabel 3. Bagan diagnosis klinis menurut WHO
PB
|
MB
| |
1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)
|
Ø 1-5 lesi
Ø Hipopigmentasi/eritema
Ø Distribusi tidak simetris
Ø Hilangnya sensasi yang jelas
|
Ø > 5 lesi
Ø Distribusi lebih simetris
Ø Hilangnya sensasi kurang jelas
Ø
|
2. kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
|
Ø Hanya satu cabang saraf
|
Ø Banyak cabang saraf
|
1.6 Penunjang Diagnosis
1.6.1 Pemeriksaan Bakterioskopik1
o pewarnaan Ziehl Neelsen
§ Bahan dari 6 lokasi: lesi kulit (2), cuping telinga (2), kulit distal telunjuk/tengah (2)
§ Bahan biopsi kulit atu saraf
§ Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyait lepra dengan melihat kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/granular)
Indek Bakteri (IB):
0
|
BTA (-)
|
1 - 10/ 100 LP
|
+1
|
1 - 10/ 10 LP
|
+2
|
1 – 10/ 1 LP
|
+3
|
10 – 100/ 1 LP
|
+4
|
100 – 1000/ 1 LP
|
+5
|
>1000/ 1 LP
|
+6
|
§ Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati
Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat infeksisitas penyakit.
o Pemeriksaan histopatologik (untuk membedakan tipe TT & LL)
§ Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit)
§ Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra)
o Pemeriksaan tes lepromin : digunakan untuk mleihat daya imunitas penderita terhadap penyakit kusta.
§ Tes Mitsuda
§ Tes Fernandez
o Pemeriksaan serologic
§ Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
§ Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
§ ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick)
1. 7 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnyasangat kronik1.
1.7.1 Reaksi Kusta Tipe I (Reversal Reaction)
Sering pada tipe Pausibasiler (TT-BB)
§ Reaksi Downgrading oleh karena imunitas penderita menurun, sehingga proliferasi bakteri meningkat dan menimbulkan lesi-lesi baru
§ Reaksi Upgrading oleh karena peningkatan imunitas penderita, sehingga lesi yang tenang menjadi meradang akut.
1.7.2 Reaksi Kusta Tipe II (Eritema Nodosum Leprosum/ENL)
§ Sering timbul tipe Multibasiler (BB-LL) disini imunitas humoral menurun, sehingga terjadi reaksi dengan antigen yang banyak dilepas serta mengaktifkan system komplemen menjadi kompleks imun
1.7.3 Fenomena Lucio
§ Reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus.
1.8 Pengobatan
a. Regimen MDT - Pausibasiler8
§ Rifampisin 600 mg/bulan (diawasi)
§ Dapson 100 mg/hari
§ Lama pengobatan : 6 - 9 bulan
b. Regimen MDT – Multibasiler8
§ Rifampisin 600 mg/bulan (diawasi)
§ Dapson 100 mg/hari
§ Lampren 300 mg/bulan, dilanjutkan dengan 50 mg/hari (diawasi).
§ Lama pengbatan : 12 – 18 bulan
c. Lesi tunggal : ROM10
§ Rifampisin 600 mg
§ Ofloksasin 400 mg
§ Minosiklin 100 mg
Bila terjadi reaksi reversal atau ENL, diberikan:10
§ Tablet prednisolon40 – 60 mg/hari, diturunkan bertahap hingga 5 mg/2 minggu
§ Analgetik / antipiretik
§ MDT tetap dilanjutkan
Bila terjadi Kecacatan, dapat dilakukan :1
§ Rehabilitasi medic
§ Rehabilitasi bedah/plastic-rekontruksi
§ Rehabilitasi karya/okupasi
Rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap bila:
§ Reaksi kusta berat
§ Dugaan resisten terhadap pengobatan
§ Dengan komplikasi penyakit lain
§ Terjadi erupsi obat alergik
§ Kemungkinan dilakukan tindakan bedah
Semoga bermanfaat
Semoga bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)